Kepala Desa Hilang, DPMD Diam: Siapa Sebenarnya yang Bertanggung Jawab?

Dok. Ist*

Sukabumi  – Ada fenomena menarik di berbagai pelosok negeri: proyek desa jalan, alat berat berdentum, tukang sibuk menggali, warga berspekulasi—tapi kepala desa entah ke mana rimbanya.

Ia mungkin sedang berada di luar kota, sedang “rapat koordinasi”, atau tengah menunaikan tugas sakral tak tercatat: menghilang.

Lebih menarik lagi, setiap kali kepala desa mangkir, seolah tidak ada sirine tanda bahaya dari lembaga yang seharusnya paling gelisah: Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD).

Lembaga ini, dalam nomenklatur birokrasi, punya posisi strategis—tapi dalam praktik, kadang hanya strategis di papan struktur.

Kita perlu meninjau ulang definisi “pemberdayaan”. Jika dalam kamus DPMD, pemberdayaan hanya berarti menggelar bimtek di hotel dan membagikan spanduk kegiatan, maka kita paham mengapa kepala desa bisa absen berkali-kali tanpa konsekuensi.

Ketika proyek berjalan tanpa pengawasan, dan kepala desa lebih sibuk menghadiri kegiatan seremonial ketimbang mendampingi masyarakatnya, DPMD seringkali memilih jalur diplomatik: diam.

Padahal, UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 jelas-jelas menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan kepala desa adalah tanggung jawab pemerintah daerah melalui DPMD.

Tapi kenyataan di lapangan memperlihatkan DPMD yang lebih mirip agen travel ketimbang lembaga pengawasan: aktif di awal, lenyap saat eksekusi, muncul lagi di akhir untuk dokumentasi.

Ketika pembangunan fisik desa dimulai, idealnya kepala desa hadir sebagai penjaga amanah, pemegang tanggung jawab moral dan administratif.

Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya: kepala desa “sangat sibuk”—begitu sibuk sampai tak sempat berdiri di lokasi proyek, apalagi mendengar keluhan warga atau mengecek mutu material.

Yang hadir di lapangan hanyalah pelaksana teknis, seringkali tanpa mandat jelas, dan tanpa keberanian mengambil keputusan.

Di sinilah lubang gelap itu terbuka: bahan diubah, spek diturunkan, laporan disulap, dan DPMD tetap tenang seperti patung di sudut kantor kabupaten.

Kritik ini bukan untuk menyudutkan, tapi untuk menggugah: DPMD memiliki kewenangan, namun tampaknya kehilangan keinginan.

Mereka bisa menegur, bisa memanggil, bahkan bisa merekomendasikan sanksi. Tapi ketika kepala desa bersikap bak raja kecil yang tak tersentuh, DPMD memilih jadi penonton.

Mungkin karena takut dituduh mencampuri urusan politik lokal, atau sekadar enggan repot.

Ini adalah potret klasik birokrasi kita: tanggung jawab ada, keberanian nihil.

Kalau DPMD masih ingin dipercaya sebagai garda depan pembinaan desa, maka sudah saatnya mereka turun dari singgasana administratif dan menapak di jalanan berdebu tempat proyek sedang berlangsung.

Mereka harus jadi institusi yang bisa mengetuk pintu kepala desa yang tertutup, bukan hanya sibuk mengetik laporan tahunan yang indah di atas kertas.

Karena kalau tidak, maka kepala desa akan terus menghilang saat dibutuhkan, dan DPMD akan terus menjadi nama indah yang hanya muncul di kop surat—bukan dalam aksi nyata.

*(Yayan Royandi) copy paste. B

Diduga Oknum Kepala Desa Cicinde Selatan Korupsi Anggaran Dana Desa

Dok. Rijal©

Karawang –  Kepala desa cicinde selatan kecamatan banyusari kabupaten karawang jawa barat.


Sedangkan dalam UU sudah jelas di sebutkan dalam Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat di pengadilan. Hakim dan penasihat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420 KUHP. Keempat pasal tersebut kemudian dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Setelah di konsumsi bawasan nya mengaku korupsi dan bagi bagi uang terhadap LSM dan Media.

Hukuman penjara untuk korupsi dan suap diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hukuman korupsi pelaku korupsi dapat dipidana penjara seumur hidup, penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, atau bahkan pidana mati.


Pelaku korupsi yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
hukuman suap. Pelaku suap dapat dipidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun. Pelaku suap juga dapat dikenakan denda minimal Rp50 juta dan maksimal Rp 250 juta. Contoh kasus korupsi pada tahun 2014, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar divonis penjara seumur hidup karena terbukti menerima suap dalam 14 sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada).nPada tahun 2016, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution divonis 5,5 tahun penjara karena menerima uang suap Rp 150 juta.
Kami harap kepada Para APH. Segera tindak lanjuti sesuai aturan yang berlaku di Indonesia.

Laporan : rizal*©

Translate »